Rabu, 11 Februari 2015

KPK vs POLRI, akankah menjadi Cicak vs Buaya Part II ?

KPK vs POLRI, akankah menjadi Cicak vs Buaya Part II ?

Sosial Kontrol (social control) biasanya diartikan sebagai suatu proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistim kaidah dan nilai yang berlaku.
Selanjutnya, dapat berwujud berupa pemidanaan, konpensasi, terapi maupun konsiliasi. Yang mempunyai standar/patokan adalah larangan yang apabila dilanggar mengakibatkan penderitaan (sangsi negative) bagi pelanggarnya. (Ref. 2 ; Sosiologi Hukum, Prof.Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Sinar Grafika, Cetakan pertama - Maret 2006 ; hal 22)

Fungsi hukum dimaksud adalah “penerapan mekanisme control sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki sehingga hukum mempunyai suatu fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok itu”.

Adapun pengertian dimaksud adalah benar dan kini telah terjadi di masyarakat kita. Dimana kelompok masyarakat sedemikian rupa melakukan ”pembangkangan” atas tindakan dan upaya yang sedang dilakukan oleh Kepolisian RI dalam rangka penyelidikan maupun penyidikan terhadap Lembaga KPK. Dan wujud dari itu semakin deras diupayakan kelompok masyarakat dikarenakan Pimpinan Kepolisian menyebut dengan istilah : Cicak (KPK) vs Buaya (Kepolisian RI).

Masyarakat marah karena Kepolisian menyatakan diri sebagai Buaya yang akan memakan Cicak yang kecil ? Jelas marah dan keberatan !! Bahkan karena pernyataan itu pula maka masyarakat semakin terbuka “unek-uneknya” melihat lembaga Kepolisian yang dikenal sangat korup dan arogan.

Kenapa korup dan arogan ? Karena masyarakat apabila berurusan dengan Kepolisian selalu dipersulit dengan istilah “segala sesuatu bisa diatur” dengan uang. Sedangkan ketidakadilan dapat dilihat dengan adanya proses penyidikan dan penyelidikan yang berbeda. Perbedaan dapat dilihat dari perbedaan sosial ekonomi orang yang bermasalah, yaitu di tingkat penyidikan maupun penyelidikan (Kepolisian) apabila yang mengalami persoalan hukum itu orang mampu selalu tidak ada masalah. Tetapi apabila yang mengalami masalah orang kecil selalu dipersulit. Keadaan ini jelas seperti adanya ketidak seimbangan maupun perbedaan perlakuan dan atau desebut diskriminasi hukum.

Disebut arogan karena klaim adanya ketindakadilan dan tindak perbuatan Kepolisian yang menekan atau memaksa dan atau memberlakukan prosedur seperti aturan yang ada hanya terhadap orang kecil saja (orang yang tidak mampu). Misalnya pemukulan atau penganiayaan sehingga mendapatkan bukti adanya pengakuan tersangka.

Ketidakadilan yang terjadi itu dirasakan dan dialami masyarakat kecil. Contoh yang terjadi adalah kasus Prita vs RS Omni atau kasus pencurian 3 buah coklat maupun kasus pencurian 1 buah semangka.

Selanjutnya apakah asas kepastian hukum harus dikesampingkan saja dengan melihat perubahan masyarakat kini yaitu dengan pengertian “keadilan” ? Memang Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Persamaan Hak belum dapat berjalan beriringan dalam penerapan hukum di Indonesia. 

Sumber : http://s2hukum.blogspot.com/2010/01/kpk-vs-polri-atau-cicak-melawan-buaya.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar