Rabu, 11 Februari 2015

KEBIJAKAN PELARANGAN TARIF TIKET PESAWAT MURAH

KEBIJAKAN PELARANGAN TARIF TIKET PESAWAT MURAH

Jakarta, CNN Indonesia -- Kebijakan Kementerian Perhubungan menetapkan harga tiket terendah pesawat yang boleh dijual maskapai penerbangan minimal 40 persen dari harga tiket batas atas dipertanyakan Anne Graham, Ahli Penerbangan dari Westminster University, Inggris.
Menurut Graham, penjualan tiket dengan harga murah yang umumnya dilakukan oleh maskapai low cost carrier (LCC) selama ini selalu bisa menyesuaikan harga tiket murah dengan aturan keselamatan penerbangan yang ketat.
"Di Eropa, catatan keselamatan LCC sangat baik. Tidak ada kaitan antara tiket murah dan lemahnya keselamatan penerbangan," kata Graham pada acara seminar ASEAN Open Sky di Graha Angkasa I, Jakarta, Senin (12/1) dikutip dari detikfinance.
Menurut Graham, tingkat keselamatan penerbangan maskapai LCC di Eropa dan Amerika Serikat sangat tinggi. Maskapai yang menyediakan layanan penerbangan no frills tersebut bisa menjual tiket murah karena pemerintah atau regulator tidak ikut campur dalam pengaturan tarif penerbangan.
Graham menjelaskan inovasi yang dilakukan maskapai LCC untuk bisa menciptakan harga tiket murah dipastikan tidak mengurangi aspek keselamatan penerbangan mengingat persaingan yang ketat dalam memperebutkan penumpang.
“Tingkat permintaan perjalanan bisnis dan wisata di Amerika Serikat dan Eropa sangat tinggi. Oleh karena itu dua benua tersebut menjadi awal tumbuhnya maskapai LCC. Maskapai jenis ini mampu menarik banyak penumpang dan menciptakan traffic baru,” kata Graham.
Optimalkan Utilisasi Pesawat
Menurutnya yang dilakukan maskapai LCC untuk bisa menjual murah tiket bukan dengan mengorbankan biaya perawatan pesawat. Namun salah satunya adalah dengan mengoptimalkan penggunaan pesawat.
“LCC memanfaatkan pesawat dengan maksimal. Mereka juga meminimalkan penggunakan tipe pesawat dengan hanya memakai satu jenis pesawat. Di Eropa, tarif bandara khusus LCC juga tidak mahal,” sebutnya.

Sumber :


Efektifkah Penutupan Jalan Protokol di Jakarta?

Efektifkah Penutupan Jalan Protokol di Jakarta?


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) menilai larangan sepeda motor melintas Jalan MH Thamrin dan Medan Merdeka Barat Jakarta, tidak efektif dan diskriminatif.

Ketua KPBB Ahmad Safrudin di Jakarta, Kamis, mengatakan selain masih ada jalur alternatif yang sejajar dengan dua jalan protokol tersebut yang bisa digunakan pengendara sepeda motor, aturan tersebut juga dinilai tidak adil terhadap kendaraan jenis lain.

"Masih ada jalur alternatif yang sejajar dengan Jalan Thamrin dan Medan Merdeka Barat, yaitu Jalan Fachruddin lanjut ke Jalan Tanah Abang Timur. Artinya, pengguna sepeda motor tidak beralih ke angkutan umum melainkan mencari jalan alternatif," kata Ahmad Safrudin.
Pria yang kerap disapa Puput itu menuturkan, meski larangan tersebut dinilai tak akan efektif menyelesaikan masalah kemacetan dan pemborosan BBM, tetapi aturan itu paling tidak bisa mengurangi kesemrawutan lalu lintas di jalan protokol.

"Tetapi tetap tidak menyelesaikan masalah kemacetan dan pemborosan BBM. Lengangnya jalan akibat tidak ada sepeda motor dengan cepat akan diisi oleh kendaraan pribadi," katanya.
Menurut Puput, salah satu solusi adil yang bisa diterapkan adalah dengan menetapkan zona emisi rendah atau "low zone emission". Aturan tersebut dilakukan dengan menetapkan bahwa hanya kendaraan yang lolos uji emisi dan dengan emisi karbondioksida (CO2) di bawah 120 gram per kilometer saja yang boleh melintas di area tersebut.

"Untuk itu, jangan hanya sepeda motor, tetapi kendaraan yang tak lolos uji emisi dan emisi CO2 lebih dari 120 gram per kilometer harus dilarang. Itu baru efektif dan tidak diskriminatif," tegasnya.
Padahal, menurut Puput, jika zona emisi rendah diterapkan, ada potensi efisiensi pemakaian BBM hingga 30 persen.
"Dengan demikian, emisi juga bisa dipangkas 30 persen," ujarnya.

sumber : http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/14/11/21/nfd0lx-sepeda-motor-dilarang-melintas-di-jalan-thamrin-kebijakan-diskriminatif

KPK vs POLRI, akankah menjadi Cicak vs Buaya Part II ?

KPK vs POLRI, akankah menjadi Cicak vs Buaya Part II ?

Sosial Kontrol (social control) biasanya diartikan sebagai suatu proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistim kaidah dan nilai yang berlaku.
Selanjutnya, dapat berwujud berupa pemidanaan, konpensasi, terapi maupun konsiliasi. Yang mempunyai standar/patokan adalah larangan yang apabila dilanggar mengakibatkan penderitaan (sangsi negative) bagi pelanggarnya. (Ref. 2 ; Sosiologi Hukum, Prof.Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Sinar Grafika, Cetakan pertama - Maret 2006 ; hal 22)

Fungsi hukum dimaksud adalah “penerapan mekanisme control sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki sehingga hukum mempunyai suatu fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok itu”.

Adapun pengertian dimaksud adalah benar dan kini telah terjadi di masyarakat kita. Dimana kelompok masyarakat sedemikian rupa melakukan ”pembangkangan” atas tindakan dan upaya yang sedang dilakukan oleh Kepolisian RI dalam rangka penyelidikan maupun penyidikan terhadap Lembaga KPK. Dan wujud dari itu semakin deras diupayakan kelompok masyarakat dikarenakan Pimpinan Kepolisian menyebut dengan istilah : Cicak (KPK) vs Buaya (Kepolisian RI).

Masyarakat marah karena Kepolisian menyatakan diri sebagai Buaya yang akan memakan Cicak yang kecil ? Jelas marah dan keberatan !! Bahkan karena pernyataan itu pula maka masyarakat semakin terbuka “unek-uneknya” melihat lembaga Kepolisian yang dikenal sangat korup dan arogan.

Kenapa korup dan arogan ? Karena masyarakat apabila berurusan dengan Kepolisian selalu dipersulit dengan istilah “segala sesuatu bisa diatur” dengan uang. Sedangkan ketidakadilan dapat dilihat dengan adanya proses penyidikan dan penyelidikan yang berbeda. Perbedaan dapat dilihat dari perbedaan sosial ekonomi orang yang bermasalah, yaitu di tingkat penyidikan maupun penyelidikan (Kepolisian) apabila yang mengalami persoalan hukum itu orang mampu selalu tidak ada masalah. Tetapi apabila yang mengalami masalah orang kecil selalu dipersulit. Keadaan ini jelas seperti adanya ketidak seimbangan maupun perbedaan perlakuan dan atau desebut diskriminasi hukum.

Disebut arogan karena klaim adanya ketindakadilan dan tindak perbuatan Kepolisian yang menekan atau memaksa dan atau memberlakukan prosedur seperti aturan yang ada hanya terhadap orang kecil saja (orang yang tidak mampu). Misalnya pemukulan atau penganiayaan sehingga mendapatkan bukti adanya pengakuan tersangka.

Ketidakadilan yang terjadi itu dirasakan dan dialami masyarakat kecil. Contoh yang terjadi adalah kasus Prita vs RS Omni atau kasus pencurian 3 buah coklat maupun kasus pencurian 1 buah semangka.

Selanjutnya apakah asas kepastian hukum harus dikesampingkan saja dengan melihat perubahan masyarakat kini yaitu dengan pengertian “keadilan” ? Memang Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Persamaan Hak belum dapat berjalan beriringan dalam penerapan hukum di Indonesia. 

Sumber : http://s2hukum.blogspot.com/2010/01/kpk-vs-polri-atau-cicak-melawan-buaya.html

Operasi AirAsia dan Berapa Biaya nya?

16 Hari Operasi AirAsia, Basarnas Habiskan Rp 570 Juta

JAKARTA – Operasi pencarian korban pesawat AirAsia QZ8501 disebut-sebut memakan biaya yang tidak sedikit. Namun, Badan SAR Nasional (Basarnas) menyatakan, selama 16 hari pencarian korban pesawat yang jatuh di Selat Karimata itu, dana yang dikeluarkan hanya Rp 570 juta
.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Basarnas F. Henry Bambang Soelistyo saat rapat kerja dengan Komisi V DPR, Selasa (20/1). ”Total anggaran yang dikeluarkan sebesar Rp 570 juta selama 16 hari pencarian AirAsia QZ8501,” beber Soelistyo.

Alokasi paling besar dari anggaran tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM).

Menurutnya, jumlah tersebut tergolong kecil. Sebab, Basarnas terbantu kapal-kapal asing yang ikut melakukan pencarian. Mereka tidak meminta bahan bakar dari pemerintah Indonesia.

”Biaya paling besar memang berasal dari BBM. Selama berhari-hari, kapal pencari yang dari luar tidak meminta BBM. Mereka membawa kapal tanker sendiri,” katanya.

Basarnas juga juga mendapatkan bantuan BBM dari SKK Migas dan perusahaan-perusahaan di bawah binaannya secara gratis. ”Kita juga dapat dari SKK Migas. Jadi, mudah-mudahan anggarannya tidak besar karena masyarakat dan Pemda juga turut membantu,” terang Soelistyo.

Penjelasan kepala Basarnas tersebut sekaligus menepis anggapan bahwa operasi pencarian korban AirAsia QZ8501 menghabiskan anggaran yang cukup besar. ”Jadi, yang dikhawatirkan selama ini tidak benar. Anggaran yang sudah dikeluarkan seperti yang tadi saya sampaikan,” tandasnya. 


Sumber: http://www.jawapos.com/baca/artikel/11721/16-Hari-Operasi-AirAsia-Basarnas-Habiskan-Rp-570-Juta