Kamis, 19 Juni 2014

Kasus Perlindungan Konsumen yg diatur UUD no 8 tahun 1999


Analisis Kasus Posisi Perlindungan KonsumenA. KASUS POSISI
Di Surabaya, seorang advokat menggugat Lion selaku pemilik Maskapai PenerbanganWings Air di karena penerbangan molor 3,5 jam. Maskapai tersebut digugat oleh seorangadvokat bernama DAVID ML Tobing. DAVID, lawyer yang tercatat beberapa kali menangani perkara konsumen, memutuskan untuk melayangkan gugatan setelah pesawat Wings Air (milik Lion) yang seharusnya ia tumpangi terlambat paling tidak sembilan puluh menit.Kasus ini terjadi pada 16 Agustus lalu ia berencana terbang dari Jakarta ke Surabaya, pukul08.35 WIB. Tiket pesawat Wings Air sudah dibeli. Hingga batas waktu yang tertera di tiket,ternyata pesawat tak kunjung berangkat. DAVID mencoba mencari informasi, tetapi ia merasakurang mendapat pelayanan. Pendek kata, keberangkatan pesawat telat dari jadwal.DAVID menuding Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan keterlambatankeberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi petugas maskapai itu di bandara.Selanjutnya DAVID mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke pengadilan untuk memperoleh kerugian serta meminta pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan, hal mana dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
B. ANALISA KASUS.
Untuk menganalisa kasus tersebut lebih jauh sebagai suatu tindak pidana ekonomi makaharus dikaji terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan hukum pidana ekonomi danHukum Perlindungan Konsumen sebagai salah satu bentuk Hukum Pidana Ekonomi dalam artiLuas.Bahwa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Ekonomi sebagaimana disebutkan olehProf. Andi Hamzah adalah bagian dari Hukum Pidana yang mempunyai corak tersendiri, yaitucorak-corak ekonomi. Hukum tersebut diberlakukan untuk meminimalisir tindakan yangmenghambat perekonomian dan kemakmuran rakyat.Dalam Hukum Pidana Ekonomi, delik atau tindak pidana ekonomi dibagi dalam 2 bentuk yakni delik atau tindak pidana ekonomi dalam arti sempit maupun delik atau tindak pidana
 
ekonomi dalam arti luas. Yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti sempitadalah tindak pidana ekonomi yang secara tegas melanggar Undang-Undang 7/DRT/1955.Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti luas adalah tindak pidanayang bertentangan dengan Undang-Undang 7/DRT/1955 serta undang-undang lain yangmengatur tentang tindak pidana ekonomi.Dalam kasus yang menimpa DAVID, Tindakan yang dilakukan oleh pihak ManajemenWings Air dengan mencantumkan klausula baku pada tiket penerbangan secara tegas merupakantindakan yang bertentangan dengan hukum perlindungan konsumen, sehingga terhadapnya dapatdiklasifikasikan sebagai tindak pidana ekonomi dalam arti luas.Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pulamembicarakan tentang UU. RI No. 8 Tahun 1999 (UUPK). UUPK lahir sebagai jawaban atas pembangunan dan perkembangan perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor  penggerak dalam perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak seimbang biladibandingkan dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk meraupkeuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha.Berdasarkan Penjelasan umum atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun1999 disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen dalam perdaganganadalah tingkat kesadaran konsumen masih amat rendah yang selanjutnya diketahui terutamadisebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Mengacu pada hal tersebut, UUPK diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungankonsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Sehingga diharapkan segala kepentingan konsumensecara integrative dan komprehensif dapat dilindungi.Perlindungan konsumen sebagaimana pasal 1 ayat (1) menyebutkan arti dari perlindungan konsumen yakni segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepada konsumen. Sedangkan arti yang tidak kalah penting ialah Konsumen, yaknisetiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagikepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Kata tidak diperdagangkan ini berarti konsumen yang dilindungi ialahkonsumen tingkat akhir dan bukanlah konsumen yang berkesempatan untuk menjual kembaliatau reseller consumer.
 
Asas yang terkandung dalam UU Perlindungan Konsumen dapat dibagi menjadi menjadi5 asas utama yakni :
Asas Manfaat
; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungankonsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelakuusaha secara keseluruhan.
Asas Keadilan
; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikankesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakankewajibannya secara adil.
Asas Keseimbangan
; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha,dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
; memberikan jaminan atas keamanan dankeselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
Asas Kepastian Hukum
; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum danmemperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjaminkepastian hukum.Perlindungan konsumen sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, bertujuan untuk Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannyadari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa, Meningkatkan pemberdayaan konsumendalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasiserta akses untuk mendapatkan informasi, Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawabdalam berusaha, Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsunganusaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatankonsumen.Sedangkan ketentuan mengenai sanksi pidana dari Undang-Undang PerlindunganKonsumen yang diatur dalam 3 pasal yakni Pasal 61, 62 dan 63. Hukum pidana berlaku secaraUltimuum Remedium mengingat penyelesaian sengketa konsumen dalam UUPK juga mengenal
 
adanya penyelesaian melalui alternative penyelesaian sengketa, Hukum Administrasi dan HukumPerdata.Tindakan Wings Air mencantumkan Klausula baku pada tiket penerbangan yangdijualnya, dalam hal ini menimpa DAVID, secara tegas bertentangan dengan Pasal 62 Jo. Pasal18 Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen dimana terhadapnyadapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak RP. 2.000.000.000,-,namun dengan tidak mengesampingkan prinsip Ultimum Remedium.Yang dimaksud dengan Klausula baku adalah segala klausula yang dibuat secara sepihak dan berisi tentang pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak yang lain.Sebagaimana ditentukan berdasarkan Pasal 18 UUPK yakni:
(1)
Pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarangmembuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
(2)
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihatatau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3)
Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjianyang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan bataldemi hukum.
(4)
Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undangini.Selanjutnya berdasarkan penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK disebutkan bahwa tujuandari pelarangan adalah semata-mata untuk menempatkan kedudukan Konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.Selain itu khusus mengenai penerbangan, berdasarkan konvensi Warsawa ditentukan perusahaan penerbangan tidak boleh membuat perjanjian yang menghilangkan tanggung jawabnya. Dalam kasus disebutkan bahwa, pada tiket penerbangan yang diperjualbelikan
memuat klausul “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian
apapun juga yangditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala
kelambatan datang penumpang dan/atau kelambatan penyerahan bagasi”. Berdasarkan pendapat
saya, hal tersebut jelas merupakan suatu bentuk klausula baku mengingat klausul yang termuat
 
dalam tiket tersebut dibuat secara sepihak oleh pihak Manajemen Wings Air yang berisikan pengalihan tanggungjawab dalam hal terjadi kerugian dari pihak manajemen kepada penumpang.Atas dimuatnya klausula tersebut jelas dapat merugikan kepentingan konsumen. Penyedia jasadapat serta merta melepaskan tanggungjawabnya atas kerugian yang timbul baik yangditimbulkan oleh penyedia jasa sendiri maupun konsumen. Sehingga dapat disimpulkan bahwatindakan yang dilakukan oleh Wings Air selaku peusahaan milik Lion Air bertentangan dengan pasal 18 UUPK dan Konvensi Warsawa tentang penerbangan.Terkait dengan penegakan hukum perlindungan konsumen, khususnya mengenai pelarangan pemasukan Klausula Baku dalam setiap aktivitas perdagangan, menurut pendapatsaya belum berjalan dengan efektif dan sesuai harapan. Disana-sini penggunaan klausula tersebutmasih marak dan cukup akrab dalam setiap aktivitas perekonomian. Selain itu, sampai sejauh ini pun penggunaan sangsi pidana belum pernah diterapkan dalam setiap tindakan pencantumanklausula baku. Hal tersebut menurut pendapat saya merupakan indikator bahwa Undang-Undang No.8 Tahun 1999 belum ditaati dan diterapkan dengan baik melainkan sejauh ini baru samapi pada tahap pemahaman dan sosialisasi.Dapat disimpulkan, sebagai bagian dari hukum yang memuat ketentuan tentang pidana perekonomian, lahirnya Undang-undang Perlindungan Konsumen menunjukan bahwa kegiatanatau aktivitas perdagangan dan perekonomian telah berkembang sedemikian rupa dan komplekssehingga kehadiran Undang-Undang No.7/DRT/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dirasatidak lagi mumpuni dalam meminimalisir itikad jahat pelaku ekonomi terhadap konsumen.Kehadiran UUPK jelas memperkaya khazanah Hukum Pidana Ekonomi Indonesia danmembuatnya selalu dinamis dan tidak tertinggal di belakang dalam mengikuti perkembangansocial yang ada pada masyarakat. Mengingat sesungguhnya tujuan diadakannya Hukum PidanaEkonomi bukanlah hanya untuk menerapkan norma hukum dan menjatuhkan sanksi hukum pidana sekedar sebagai pencegahan atau pembalasan, akan tetapi mempunyai tujuan jauh untuk membangun perekonomian dan mengejar kemakmuran untuk seluruh rakyat sebagaimanadisebutkan oleh Prof. Bambang Purnomo