Rabu, 06 November 2013

Perlindungan Hukum Dana Simpanan Anggota Koperasi

Perlindungan Hukum Dana Simpanan Anggota Koperasi

Gunawan Hariyanto
Jurnal Ilmu Hukum, MIZAN, Volume 1, Nomor 1, Juni 2012



ABSTRAK
Sistem hukum yang lemah di Indonesia mengakibatkan koperasi rentan terhadap berbagai penyimpangan dalam tubuh koperasi . Tidak ada sanksi hukum yang jelas dalam Actcooperative dan transparan kepada manajer ( manager ) yang melakukan pelecehan , namun kembali . segera ke hukum pidana dan perdata . Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum tabungan dana anggota koperasi ' dalam hal hukum yang ada di Indonesia dan untuk menentukan peran pemerintah dalam melindungi dana dari anggota koperasi penggelapan oleh praktek manajemen koperasi . Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggabungkan analisis yuridis
analisis kualitatif dan fenomenologis . Ini berarti bahwa studi normatif berdasarkan hasil empiris wawancara dan observasi di lapangan . Dalam studi ini peneliti mewawancarai pejabat di tujuh koperasi layanan di lima kota di Jawa Timur . Kantor koperasi dipelajari , antara lain : Koperasi dan Kabupaten Kota Mojokerto , kabupaten dan kota Kediri , Kabupaten Nganjuk , Trenggalek dan Kabupaten Tulungagung . Hasil dari penelitian ini adalah hukum koperasi KSP / USP masih memiliki kesenjangan yang besar untuk praktek anggota penggelapan. Peran terbatas pada pembangun layanan koperasi dan fasilitator , karena koperasi memiliki prinsip otonomi dalam mengelola urusan internal . Selain itu tidak ada lembaga penjaminan simpanan ( LPS ) pada sektor perbankan tertentu koperasi . Hal ini sangat berisiko dalam hal anggota koperasi dalam kasus penggelapan dana oleh anggota dewan koperasi . Upaya telah dilakukan oleh pemerintah daerah melalui koperasi kabupaten / kota untuk membantu melindungi anggota dari dana koperasi pelayanan masih kurang optimal . Fungsi pembinaan cenderung menjadi formalitas belaka , kurang program dan manfaat nyata . Kuantitas dan kualitas tenaga pelayanan masih belum mampu sidang saksi ahli koperasi . Izin kemudahan layanan yang disediakan untuk pendirian koperasi KSP / USP sebenarnya memicu kedok praktik pemberi pinjaman koperasi rentan terhadap penyalahgunaan . Kendala lain dalam upaya pemerintah adalah adanya otonomi daerah yang mengarah pada perubahan kepemimpinan pejabat departemen koperasi untuk mengabaikan kapasitas individu.


A. PENDAHULUAN
Koperasi sebagai salah satu bentuk badan usaha mempunyai peran yang sangat
strategis bagi pemberdayaan dan penguatan perekonomian rakyat. Koperasi sebagai
sebuah lembaga ekonomi rakyat telah lama dikenal di Indonesia dimana menurut Dr.Muhammad Hatta yang dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia, koperasi merupakanBadan Usaha Bersama yang bergerak dalam bidang perekonomian, beranggotakan mereka yang umumnya berekonomi lemah, yang bergabung secara sukarela, berdasarkan persamaan hak dan kewajiban untuk melakukan  suatu usaha yang bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggotanya (Mirza Gamal, 2006).

   1.    Perlindungan Hukum Dana Simpanan Anggota Koperasi di Indonesia Ditinjau dari Aspek Yuridis
Berdasarkan hasil wawancara dengan 7 dinas koperasi di 5 kota di Jawa Timur, peneliti mendapatkan temuan yang beragam terkait aspek yuridis perlindungan dana anggota koperasi di Indonesia. Namun secara umum mereka menilai bahwa perangkat hukum di Indonesia memang belum memadai untuk memberikan perlindungan atas simpanan anggota. Isu perangkat hukum koperasi yang saat ini paling dibutuhkan dan belum ada adalah lembaga penjamin simpanan (LPS) sebagaimana yang ada pada sektor perbankan. Sejauh ini lembaga yang bisa digunakan untuk mencegah kasus penyalahgunaan dana anggota adalah KPKS (Komisi Pengendalian Koperasi Simpan Pinjam/Unit Simpan Pinjam), namun perannya belum cukup terasa karena masih baru dibentuk dan hanya berdasarkan SK Walikota/Bupati yang tentunya memiliki kewenangan hukum yang serba terbatas.
Fenomena KSP/USP menjadi bermasalah ketika dalam melakukan kegiatan usahanya telah menyimpang dari prinsipprinsip koperasi. Semakin ketatnya persaingan sesama koperasi, mendorong KSP/ USP untuk berinovasi dan berlomba menarik calon anggota dengan memberikan berbagai tawaran produk investasi simpanan, serta pemberian bonus-bonus dan hadiah-hadiah menarik lainnya. Strateginya adalah memanfaatkan istilah status “calon anggota koperasi” padahal sasarannya sebenarnya lebih cenderung kepada masyarakat luas. Ketentuan perundangan yang dijadikan tempat berpijak adalah Pasal 18 PP no. 9 tahun 1995 yang menyebutkan bahwa: “(2) Calon anggota koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus menjadi anggota dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah melunasi simpanan pokok.”
Pola pencarian calon nasabah seperti telah tersebut di atas, sebagai alasan pembenarnya lebih pada pertimbangan promosi sisi bisnis, sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh koperasi sesungguhnya sudah beregeser dan semakin jauh dari prinsip dan tujuan koperasi itu sendiri. Tujuan koperasi yang terutama seharusnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan memenuhi kebutuhan para anggotanya.
Penyimpangan yang lain yaitu KSP/USP membuka beberapa kantor cabang di kotakota lain di luar domisili hukumnya, meskipun tanpa atau belum adanya ijin operasional dari instansi vertikal yang berwenang maupun instansi setempat yang berwenang mengeluarkan perijinan dan melakukan pengawasan. Dalam praktiknya seringkali KSP (Koperasi Simpan Pinjam)/Unit Simpan Pinjam (USP) menghimpun dana dari masyarakat yang jelas-jelas notabene bukan anggota koperasi dalam bentuk deposito berjangka dengan memberikan bunga kepada anggotanya di atas bunga bank. Permasalahan akan semakin meruncing pada waktu simpanan para anggota jatuh tempo, tetapi koperasi tidak mampu mengembalikan sesuai waktu dan bunga yang dijanjikan. Hal ini disebabkan tawaran bunga tinggi oleh koperasi ternyata tidak seimbang dengan kontribusi usaha riil yang digunakan untuk memutar dana tersebut, apalagi kalau usaha tersebut berisiko mengalami kerugian atau kebangkrutan.
Faktor penyebab lain adalah tindakan penyelewengan oleh oknum pengelola/ pengurus koperasi akibat lemahnya pengawasan/ kontrol. Kemudahan dalam perijinan pendirian koperasi telah mendorong semakin banyaknya berdiri koperasi-koperasi, di satu sisi keadaan ini akan membantu perbaikan sektor usaha kecil, namun di sisi lain, semakin banyaknya berdiri koperasi tanpa proses perijinan yang selektif dan pengawasan yang ketat juga akan menimbulkan masalah, karena berpotensi penyimpangan.
Berdasarkan keterangan dari dinas-dinas koperasi yang diwawancarai, umumnya kasus-kasus penyalahgunaan dana anggota oleh pengurus koperasi tidak terselesaikan di persidangan. Atau kalaupun berhasil disidangkan, keputusan yang dihasilkan tidak memenuhi rasa keadilan. Proses persidangan hanya mengandalkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang tidak menjamin adanya sanksi denda yang jelas serta sanksi administratif (undang undang perbankan) lainnya sebagaimana yang dimiliki Bank Indonesia untuk sektor perbankan. Akibatnya banyak anggota yang harus puas menerima pengembalian dana hanya sekian persen dari nilai yang dulu diinvestasikan, bahkan banyak tak bisa kembali sepeserpun.
Di sinilah aspek yuridis perlindungan dana anggota koperasi memiliki celah yang perlu untuk disempurnakan. Sebenarnya kasus-kasus likuiditas semacam ini juga seringkali terjadi pada sektor perbankan, namun perbankan masih memberi rasa aman kepada para nasabahnya dengan adanya Lembaga Penjamnin Simpanan (LPS). Di koperasi belum ada lembaga seperti itu, sehingga sangat berisiko bagi seorang anggota koperasi untuk mengalokasikan dana besar dalam bentuk simpanan di koperasi. Isu tentang LPS untuk koperasi sebenarnya sudah lama diperdebatkan, sebab banyak implikasi yang harus dipikirkan bila lembaga ini dibentuk untuk koperasi.
Bagaimananapun industri perbankan berbeda dengan koperasi. Tak dapat dipungkiri pula bahwa perbankan di Indonesia lebih mendominasi dan berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi daripada koperasi. Dengan alasan itu pula maka sektor perbankan lebih mendapat perhatian khusus dalam aspek yuridisnya, khususnya melalui peran Bank Indonesia.
Pada tahun 1998, krisis moneter dan perbankan yang menghantam Indonesia, yang ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank, mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan. Untuk mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee). Melalui Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat dan disempurnakan dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat. Pada tanggal 22 September 2004, Presiden Republik Indonesia mengesahkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, LPS dibentuk sebagai suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Fungsi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) :
  1)      Menjamin simpanan nasabah penyimpan.
  2)      Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannnya.
Tugas Lembaga Penjamin Simpanan (LPS):
   1)      Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan.
   2)      Melaksanakan penjaminan simpanan.
   3)      Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan. 
   4)      Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik.
  5)      Melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.
Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
   1)      Menetapkan dan memungut premi penjaminan.
   2)      Menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta.
   3)      Melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS.
  4)      Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank.
  5)      Melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/ atau konfirmasi atas data tersebut pada angka 4.
  6)      Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim.
   7)       Menunjuk, menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi kepentingan dan/atau atas nama LPS, guna melaksanakan sebagian tugas tertentu.
   8)      Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan simpanan.
   9)      Menjatuhkan sanksi administratif. (Situs Resmi LPS, online)
Dasar hukum LPS antara lain:
   1)      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
v2)      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang.
  3)      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan
  4)      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.
   5)      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2005 tentang Modal Awal Lembaga Penjamin Simpanan.

Paparan tentang LPS di atas menunjukkan bahwa secara yuridis pemerintah menjamin dana nasabah perbankan nasional. Koperasi sebagai salah satu pilar ekonomi diharapkan juga memiliki perlakuan yang sama. Peraturan perundang-undangan tentang Koperasi Simpan Pinjam, yaitu:
   1)      UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, PP No. 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi, 
  2)      Kepmenkop No.351/Kep/M/XII/1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi,

Pada peraturan perundangan tersebut belum terdapat adanya pengaturan secara khusus mengenai perlindungan maupun jaminan penyelesaian bila terjadi penyimpangan terhadap dana anggota koperasi yang berakibat kerugian bagi anggota tersebut. Mengingat KSP tergolong bisnis pengelolaan uang yang penuh dengan risiko, maka untuk perkembangannya diperlukan aturan/kebijakan dari Pemerintah yang dapat memberikan perlindungan bagi dana anggota. Dalam beberapa kasus penyimpangan yang dilakukan oleh oknum pengurus KSP, akhirnya para anggotalah yang tetap dirugikan, apalagi dana miliknya tidak dapat kembali seutuhnya. Sedangkan asset koperasi sangat minim, bahkan jauh bila dibanding dengan akumulasi simpanan para nasabah. Menurut Sularso (Sularso, 2002: 104), KSP/USP memiliki indikasi kerawanan yang harus diwaspadai, yaitu:
   1)      USP sebagai salah satu unit dalam koperasi,
   2)      KSP/USP mengembangkan pelayanan pada bukan anggota,
   3)      KSP/USP dijadikan sebagai payung legal pelepas uang,
   4)      Tidak pruden dalam memberikan pinjaman,  
   5)      Kurang memperhatikan aspek akuntabilitas dan transparansi.

Wakil Gubernur Jatim Drs. H. Saifullah Yusuf mengusulkan adanya lembaga penjaminan simpanan (LPS) bagi anggota koperasi yang dituangkan dalam Rancangan Undang- Undang (RUU) tentang Koperasi. LPS ini dirasa penting dan cocok untuk meningkatkan kinerja koperasi. Lembaga penjaminan yang dimaksud seperti yang diterapkan di dunia perbankan (Humas Setda Prov. Jatim, 2011).
Kendati demikian bila koperasi juga memerlukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagaimana perbankan, maka timbul pertanyaan siapa yang harus mempersiapkan pendanaannya? Gerakan koperasi atau Pemerintah? Kalau pemerintah yang harus menyiapkan maka ketergantungan koperasi pada pemerintah nampak sangat kuat. Padahal koperasi didorong untuk mandiri, seperti halnya lembaga keuangan lainnya. Namun setidaknya dalam rangka pembinaan, karena koperasi masih belum dinilai mampu, maka LPS koperasi ini dapat dibentuk dan diprakarsai oleh pemerintah. Agar tidak terlalu membebani pemerintah, maka diperlukan peran serta Gerakan Koperasi melalui IKSP dalam pengelolaan LPS.


  1. Peranan Pemerintah dalam Melindungi Dana Simpanan Anggota Koperasi

Ketika isu tentang LPS koperasi dan revisi undang-undang perkoperasian masih menjadi perdebatan, maka dengan perangkat yang ada pemerintah (Kementerian Koperasi dan UKM maupun Disperindagkop setempat/ wilayah) dituntut melakukan optimalisasi peran dan fungsinya untuk mencegah terjadinya kasus-kasus penggelapan dan penipuan dalam tubuh koperasi. Berdasarkan hasil wawancara terhadap 7 dinas koperasi di 5 kota di Jawa Timur, peneliti memperoleh informasi yang beragam tentang kiat-kiat pemerintah daerah dalam mengupayakan perlindungan dana anggota koperasi. Secara umum pemerintah, khusunya yang ada di daerah melalui dinas koperasi melakukan upaya sebagai berikut:
   1)      Melakukan optimalisasi pembinaan koperasi
Dinas koperasi di daerah berupaya untuk melakukan pembinaan secara periodik kepada koperasi-koperasi yang ada dengan mensosialisasikan informasi agar koperasi tetap berpijak pada prinsip-prinsip koperasi. Dalam kenyataan di lapangan fungsi ini sudah berjalan tapi belum optimal. Dinas koperasi umumnya hanya dianggap simbolisasi formalitas belaka. Oleh sebab itu fungsi pembinaan harus benar-benar dijalankan secara progresif. Dinas koperasi perlu aktif untuk mengadakan pertemuan-pertemuan, diklat, seminar dan kunjungan pada koperasikoperasi yang ada. Semakin seringnya ada pertemuan pembinaan, maka akan semakin banyak informasi yang didapat oleh pengurus dan pengelola, bahkan oleh anggota koperasi. Selain itu banyak masalah-masalah koperasi yang dapat didiskusikan, termasuk dalam hal penggunaan dana anggota koperasi secara sehat dan transparan.
   2)      Mengoptimalkan fungsi fasilitator
Dinas koperasi didaerah harus siap kapanpun dan dimanapun untuk menjadi fasilitator kegiatan koperasi. Fungsi fasilitator yang nyata adalah sebagai saksi ahli dalam persidangan untuk kasus-kasus penyalahgunaan dana anggota. Namun pertanyaannya adalah apakah personel dinas koperasi sudah cukup capable untuk menjadi fasilitator. Dalam kenyataannya hanya sedikit personel dinas koperasi yang mampu menjadi saksi ahli dalam persidangan. Oleh sebab itu seiring perkembangan perkoperasian, maka personel dinas koperasi harus terus meningkatkan kapasitas dan pengetahuannya agar siap dan mampu menjadi saksi ahli dalam persidangan kasus-kasus penyalahgunaan dana anggota. Dengan demikian akan dimungkinkan putusan pengadilan yang seadil-adilnya bagi anggota koperasi yang dirugikan. Misalnya dalam hal keputusan pailit koperasi dan lelang aset bagi anggota kreditur koperasi.
   3 )      Memperketat perijinan pendirian koperasi
Dinas koperasi di daerah berwenang memberikan ijin pendirian koperasi. Selama ini ijin diberikan dengan mudah dengan harapan bahwa koperasi akan tumbuh subur dan mampu menjalankan roda perekonomian daerah dan berimbas langsung pada kesejahteraan masyarakat kecil. Namun kemudahan perijinan ini juga dilematis, karena di sisi lain akan berpotensi terjadi “koperasi jadi-jadian” yang hanya sebagai kedok bagi praktik rentenir, lebih-lebih bila berakhir pada kasus penggelapan dana anggota. Oleh sebab itu kemudahan perijinan koperasi, khususnya KSP/USP harus mempertimbangkan aspek jaminan perlindungan dana anggota. Dinas koperasi perlu menerapkan kehati-hatian dan kejelian apakah sebuah koperasi layak untuk diijinkan berdiri dan beroperasi. Untuk menekan risiko, maka modal penyertaan dan aset koperasi sedapat-dapatnya ditetapkan dalam jumlah besar. Setidaknya bila terjadi kasus likuiditas, maka modal pernyertaan dan aset dapat mencukupi pengembalian dana anggota.
   4 )      Membentuk Komisi Pengendalian Koperasi Simpan Pinjam (KPKS)
Secara khusus, pemerintah propinsi Jawa Timur telah membentuk KPKS melalui SK Gubernur Jawa Timur guna mengawasi dan mengendalikan KSP/USP yang ada di Jawa Timur. Walaupun berkekuatan hukum terbatas pada tingkat propinsi, namun peran KPKS diharapkan dapat menjadi titik terang bagi terbentuknya iklim KSP/USP yang lebih sehat di masa mendatang. Permasalahannya tinggal bagaimana wujud nyata peran KPKS di kabupaten/kota, apakah KPKS mampu menjalankan fungsinya dengan profesional, netral dan transparan. Sejauh ini hal tersebut belum tampak, sebab KPKS memang baru dibentuk setahun terakhir. Harapan yang besar terhadap KPKS seyogyanya dapat diresponi oleh pemerintah dengan membuat terobosan perlindungan dana anggota melalui perwujudan koperasi yang sehat dan produktif.
   5 )      Menumbuhkan Kemandirian Koperasi
Kemandirian dalam hal ini tidak hanya menyangkut kemandirian dalam penggalangan dana, tetapi juga kemandirian untuk mengatasi masalah-masalah intern koperasi, namun apabila tidak terselesaikan maka koperasi dapat menempuh proses sesuai hukum yang berlaku. Dalam hal ini peran Rapat Anggota Koperasi sangatlah besar untuk membahas masalah intern dalam tubuh koperasi dan merumuskan solusi bersama.
Firdaus, M., Agus Edhi, 2002. Perkoperasian:



DAFTAR PUSTAKA

Sejarah, Teori dan Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Friedman, Lawrence M. 1969. The Legal
System: A Sosial Science Perspektive. Russel Soge Foundation. New York.
Fuady, Munir. 2007. Dinamika Teori HukumGhalia Indonesia: Bogor.
Kelsen, Hans. 2011. Teori Hukum Murni.
Cetakan VIII. Bandung: Nusa Media.
Mutis, Thoby. 2004. Pengembangan Koperasi, Cetakan IV, Jakarta, Gramedia